Meski alami tunagrahita ringan, Sandro bocah penjual sapu lidi dikenal mudah bergaul di Sekolah

KEFAMENANU, TIMME–Stefanus Sandro Nusin, (12), bocah penjual sapu lidi untuk membantu kebutuhan dalam rumah seperti beras dan kebutuhan lainnya ternyata masih duduk di kelas V Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Benpasi, Kecamatan Kota Kefamenanu, Timor Tengah Utara, NTT.

Sandro disekolahkan di SLBN karena mengalami keterbelakangan mental ringan atau tunagrahita ringan, bukan saja itu, kedua orangtuanya memilih untuk menyekolahkan Sandro di SLBN karena sekolahnya gratis.

Kepala Sekolah SLBN Benpasi, Ellen Makatita, S.Pd saat dikonfirmasi melalui salah satu guru dari Stefanus Sandro Nusin membenarkan bahwa Sandro selama ini memang bersekolah di SLBN dan masih duduk di bangku kelas V, namun karena masih terkendala dengan COVID-19 sehingga saat ini sistimnya masih BDR.

“Iya benar dia sekolah di SLBN, Kesehariannya seperti anak normal, hanya pengaruh tunagrahitanya, (IQ dibawah rata2) mengakibatkan Sandro terbatas perkembangan pencapaian tingkat usia mentalnya, namun di sekolah, anaknya penurut, komunikasinya baik, mudah bergaul,”Jelas, Florida P. Bere S.Pd.

Baca juga: Gara gara salah sebut nama sekolah, Stefanus penjual sapu dikunjungi kepsek

Baca juga: Jual sapu lidi, siswa SD kenari ingin beli pulsa untuk ikut belajar online

terkait dengan sistim pelajaran saat ini, pihak sekolah masih terapkan BDR karena COVID-19. “karena masih COVID sehingga sistim belajanya pakai BDR, Ada yang orangtuanya ambil materi di sekolah, ada yang guru antar jemput tugas ke rumah siswa,”Ungkap Florida.

Ternyata keadaan Stefanus Sandro Nusin tidak membuatnya patah semangat, ditambah dengan kondiri ekonomi keluarga yang tergolong rendah, membuatnya memacu diri untuk bertahan hidup bersama orangtua dan 9 saudaranya dengan berjualan sapu lidi.

Yosep Nusin, ayah dari Stefanus Sandro Nusin

Yosep Nusin, ayah dari Stefanus Sando saat dtemui dikediamannya di RT.20/RW.06 Kelurahan Benpasi mengaku sejak munculnya virus corona, dirinya tidak lagi bisa bekerja sebagai buruh bangunan, sehingga terpaksa mengurus kebun yang penghasilannya tidak pasti.

“kami memang kesulitan beras, tapi untuk makanan lain seperti jagung dan ubi kami selalu siap dan setiap hari kami makan jagung, kalau mau makan nasi baru jual ubi atau pisang kemudian baru beli beras,”Ungkap Yosep yang sudah uzur. (seb)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *